Kutulis syair ini
kala rembulan purnama
dari pantulan cahaya
kupunguti kata
demi kata
langit merona merah jingga
desir angin mengalunkan simfoni nada
empat serigala muncul dari dalam jiwaku
mengabariku tentang kisah kematian
Tentang anekdot-anekdot kehidupan
tentang "TUHAN" yang semakin jauh dari dekapan
di ujung malam yang senyap ini
saat mata kepalaku disergap kantuk yang melanda
mata hatiku masih ingin berbicara
bercerita tentang gelisah hati dan kerinduan jiwa
cahaya rembulan
mengingatkanku pada "Maha Cahaya"
kesempurnaan yang karenaNya
kehidupan ini tertata paripurna
Cahaya diatas Cahaya
Percikan-percikan cahayaMu
menerangi jiwa-jiwa yang gulita
menyibak segala gelap yang berlapis-lapis
dibalik kabut pekat jiwaku
ijinkan aku mengintip keindahan cahayaMu
dan Engkau pun menjawabNYA...
"Maka sesunguhnya Aku bersumpah demi cahaya merah di waktu senja,
demi malam dan apa yang diselubunginya
demi rembulan apabila jadi purnama
Sesungguhnya kamu melalui fase demi fase(dalam kehidupan).
Mengapa mereka tak mau beriman?
(Al-Insyiqaq : 16-20)
Dalam senyap tanyaku
mengintip kembali kedalam relung jiwa
yang disana menyeruak sebuah tanya
apakah aku benar-benar telah beriman kepadaNya?
Entahlah, jika beriman diartikan sekedar meyakini keberadaanNya
barangkali "ya"
tetapi bila beriman diartikan sebagai "meyakini keberadaannya sekaligus sungguh-sungguh
"menaatii" perintah/laranganNNya, betapa jauhnya diriku untuk dikatakan beriman.
Oh Tuhan..
lihatlah aku...
MakhlukMu yang pura-pura beriman ini
yang selalu berusaha membungkus kepalsuan dalam ketaatan
apakah aku bisa menyembunyikan semua kebusukan jiwaku ini dariMU?

0 komentar: