Ahad kemarin setelah agenda makan-makan (agenda makan-makan selalu
menyengkan yah? heuu...) di Resto Bobara khas Manado [Resto Muslim dan
halal insya Allah, dan tentang halal ini sebenernya adalah poin penting
yang perlu dicermati sebelum makanan itu masuk ke saluran cerna.
Spakat?! :) ], aku dan Ega
telah membuat kesepakatan untuk menjelajahi museum Prasasti di hari
Rabu. Dan hari Rabu itu, akhirnya rencana kami itu terwujud meskipun
hujan mengguuyur tiada henti-hentinya (kalo pun jeda, paling skitar 15
menit dan itupun masih rada-rada gerimis gitu) dari jam 3 dini hari
hingga ke sekitar maghrib. Aku sebenernya sudah mulai agak 'mundur'
melihat hujan mengguyur karena bepergian ketika hujan itu agak repot
bagi aku, kecuali memang amat sangat terpaksa. Heheuu... Soalnya
mengingat kaos kaki yang pasti akan basah dan berlama-lama dengan kaos
kaki yang basah itu sesuatu yang tidak begitu menyenangkan bagiku. Hihi.
Tapi, Ega semangatnya luar biasa tak terbendungkan. Akhirnya, apapun
rintangannya teteeup berangkat ke Museum prasasti. Dan akhirnya, jam
9.30-an kita berangkat dari stasiun Pocin.
Pada mulanya, aku membayangkan museum itu adalah sesuatu bangunan yang
memuat benda-benda tertentu, dipajang, trus diliatin. Atau, setidaknya
ada semacam ukiran-ukiran bersejarah yang memuat cerita jaman dulu,
tergantung museum apa itu. Ketika aku tanya Ega, dan aku baru nanyain
ketika kita udah di Bajaj menuju museum kalo tidak salah (aku lupa
persisnya. Intinya adalah ketika kita mau nyampe di museumnya), dan Ega
dengan santai menjawab, "Bukan, tapi kuburan."
"Hah? Kuburaaaan??? Masya Allah... Ckckck... Glek." Aku aseli bengong.
"Jadi kuburan tho?! Museum yang isinya kuburan semuaaa?"
Tuing...tuing....
Well, museum itu ternyata memang benar-benar
kuburan. Di hari Rabu itu, pengunjung 'kuburan' ehh Museum itu hanyalah
kami berdua. Sepanjang kami berada di sana, tak ada pengunjung lain
selain kami. Haha, hujan-hujan, cuma berdua, di kuburan.
Heheuu... Kuburan jadul-dul-dul di mana dulunya sempat menjadi tempat
pemakaman umum untuk bangsawan penjajah ketika Jakarta masih bernama
Batavia. Dan satu-satunya yang kemudian membuatku menjadi tertarik
adalah logo-logo illuminati dan freemansory yang bertebaran di sana. Dan
ternyata misi Ega juga adalah mencermati logo-logo illuminati dan
simbol-simbol freemansory itu. Di sana juga terdapat makam Soe Hok Gie
yang meninggal 16 Desember 1969 yang konon kabarnya dalam pendakiannya
untuk merayakan ultahnya. Di antara kuburan-kuburan itu, juga terdapat
model tugu yang juga adalah simbol 'mereka' dan bahkan Mon*s yang
menjadi icon kota Jakarta sekalipun ternyata juga adalah sebuah simbol
y*hudi juga. Coba perhatikan, di belakang Ega (karena aku cuma punya 2
file foto dan tidak punya foto yg tanpa ada orangnya, heheuu, jadi
terpaksa aplod yang ini, dengan penge-blur-an wajah. Hehe) ada semacam
tugu gitu kan. Di beberapa kuburan lainnya aku lihat juga gitu, tugu
yang mirip M*nas. Kuburannya bukan juga persegi yang panjang kali lebar
gitu tapi cuma tugunya aja atau cuma kaya patung gitu doang (lihat di
sebelah tugu dan sebelahnya lagi).
![]() |
| Kuburan dan simbol-simbol |
Ya, setidaknya, ini menjadi alarm sebagai warning bagi kita, untuk mempersiapkan generasi-generasi yang baik, di mulai dari rumah, di mulai dari lingkungan mikro (keluarga) yang membentuknya. Sungguh, segalanya perlu dipersiapkan. Jika untuk menjadi apoteker penanggung jawab apotek, atau untuk mendiagnosa pasien, atau untuk mengajarkan kepada murid atau untuk menjadi akuntan di suatu instansi, ataupun untuk mendesain suatu bangunan, atau membangun sebuah jaringan telekomunikasi, atau menengahi permasalahan hukum, atau merancang suatu strategi politis, atau pun untuk bisa mencabuti gigi yang berlubang sekali pun, dibutuhkan sekolah, dibutuhkan jenjang pendidikan, dan pembelajaran yang panjang, apalagi untuk mempersiapkan sebuah generasi Rabbani! Apalagi untuk sebuah cita-cita membangun sebuah peradaban dan menciptakan batu batanya. Sungguh, ini lebih butuh untuk di-ilmu-i di samping ilmu-ilmu profesional kita pada sepsialisasi-spesialisasi tertentu. Tak peduli apa latar belakang kita, apakah seorang apoteker, dokter, ekonom, politisi, ahli hukum, guru, engineer, arsitek, designer; mempelajari ilmu untuk mempersiapkan batu bata peradaban tetaplah harus berada pada jajaran yang diprioritaskan.
Ini mungkin sedikit oleh-oleh dari kuburan eehh museum prasasti. Smoga lebih memicu semangatku untuk cepet-cepet lulus kuliah (lohh?? gak ada hubungannya. Hehe. Tapi ini sudah jadi targetku lohh, cepet-cepet lulus, semoga Allah mudahkan. Aamiin), dan yang terpenting, menjadi motivasi bagiku (semoga juga bagimu) untuk mempersiapkan generasi peradaban yang mulia, yang tidak latah ikut-ikutan kemasakinian tanpa mengerti maknanya. Generasi yang teguh. Generasi yang memperjuangkan diin ini. Generasi shalih, insya Allah. Semoga. Semoga. Kita menjadi bagian dari orang-orang yang memperjuangkan itu. Smoga Allah berikan keistiqomahan pada diri kita. Saling berpesan dan mengingatkanlah (untuk kesekian kalinya, tolong ingatkanlah aku), jika ada di antara kita yang sedang lemah, sedang tidak bersemangat.
Hayooo Semangaaaatt!
Mannajah...
:)

0 komentar: