
Si
penulis gila. Manusia aneh itu ku temukan di keheningan malam. Ia duduk
menyender di dinding kayu di mushola tua yang hampir rubuh di dekat
rumahku. Sepertinya, ia sedang khitmad menuliskan sesuatu. Sesekali ku
dengar ia tertawa dan kemudian kembali diam. Aku mendekatinya, berusaha
menyapanya. Namun ia tak menjawab. Ia hanya menoleh sesaat dan kembali
larut dalam tulisannya. Entah ia menyadari atau tidak keberadaanku. Aku
pun memutuskan untuk duduk disebelahnya, dan kemudian mulai membaca apa
yang sedang ia tuliskan.
Mungkin
sudah waktunya kita memaknai hidup dengan benar. Dengan mencari tahu
siapa sebenarnya diri kita ini dan apa tujuan kita hidup . Setiap hari
kita melakukan rutinitas yang hampir sama setiap harinya. Bagun tidur,
mandi, dan lalu pergi ke tempat rutinitas masing-masing, kemudian di
sore harinya pulang kembali ke rumah, makan, dan lalu tidur kembali.
Tapi apakah memang benar kita hidup hanya untuk melakukan
rutinitas-rutinitas tersebut?
Rutinitas mencari uang,
uang dikumpulkan untuk membeli makanan, usai di makan lalu dibuang
melalui kotoran. Mencari uang untuk membeli pakaian mewah, dan bermerek
yang bila masanya habis akan kusam dan tidak bisa dipakai lagi. Membeli
rumah, yang bila mati akan ditinggalkan, dan tidak ditempati lagi. Jadi
apa yang benar-benar kita miliki dari segala rutinitas pencarian kita
itu?
Tulisannya terdengar begitu
mengenyampingkan dunia. Ternyata masih ada manusia sepertinya. Ku
menatapnya setelah ia kemudian melanjutkan sebuah kalimat dengan
diakhiri tanda seru.
Sebenarnya tak ada yang benar-benar kita miliki!
Kalimat ini cukup menyentakku beberapa detik.
Bahkan
diri kita sendiri. Sekuat tenaga pun kita berusaha, mencari dan
menggenggamnya untuk kita miliki. Namun, tak kan pernah benar-benar
kita miliki. Karena hanya ada satu Sang Pemilik sejati , dan Ia lah yang
seharusnya kita cari dalam setiap rutinitas semasa hidup kita ini. Agar
pencarian kita tidak bermuara hanya pada materi-materi yang bersifat
fana dan sementara. Dan jelas tidak akan membuat hidup kita berarti.
Aku, Engkau pinjami tubuh ini.
Aku bahkan tak memiliki apa-apa sejak kehidupanku Engkau awali
Semua hanyalah titipanMu.
Begitu pula dengan istri, anak, dan semua yang Engkau adakan untukku.
Ini semua hanyalah titipanMu Tuan Sang Maha Raja. Engkaulah pemiliknya.
Dengan KemurahanMu, Engkau telah ridho untuk menitipkannya padaku.
Padaku yang jauh dari pantas untuk semua titipan itu.
Aku mohon ampun padaMu, Engkau Maha Tahu bahwa aku bukanlah sebaik-baiknya penjaga, bukan sebaik-baiknya pemelihara.
Jika Kau biarkan aku tanpa petunjukMu, sungguh aku tak akan mampu.
Tolong aku, berilahku petunjukMu.
Wahai Tuan Sang Maha Raja...
Segalanya adalah Engkau, karena KeMahaBesaranMu, Engkau meliputi segalanya.
Segalanya datang dariMu dan kembali pun padaMu, karena Engkau yang Mengawali dan Mengakhirinya,
lalu dimana kedudukanku?
Aku hanyalah makhluk yang menjadi ada atas kehendakMu, sehingga ku tak berkehendak atas diriku sendiri,
aku hanyalah karya cipta yang mengikuti kehendak penciptanya, dan inilah aku,
hambaMu Wahai Tuan Sang Maha Raja.
Aku
kemudian menatapnya dengan sungguh, ia seperti tengah hanyut dalam
tulisannya. Ia masih saja terus menulis. Sesekali ku tersandar ke
dinding kayu itu, mengelus dada, tak semua yang mampu kubaca, karena
kalimat-kalimat yang ia tuliskan ibarat sihir yang menggetarkan hatiku.
Si penulis gila ini telah menyentakku dengan kegilaannya. Tapi aku akan
tetap disini. Biarlah dulu begini, hingga ku paham sendiri, dan atau ia
yang akan menjelaskannya nanti, setelah ia menyelesaikan tulisannya dan
menyadari aku ada disini.
Blogger templates
25. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar: